Kebijakan HKI bagi Creative City

Banyak harapan yang dimunculkan kepada sektor ekonomi kreatif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat saat ini. Terlebih lagi, ketika badai krisis menimpa negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Harapan atas meningkatnya peranan sektor ekonomi kreatif ini, tentu tidak cukup hanya sekedar tindakan sepihak dari pelaku ekonomi kreatif (creative economic actors), tetapi hal tersebut harus didukung juga dengan kebijakan dan penerapan yang nyata dari pemerintah kepada kepentingan ekonomi kreatif. Salah satu kebijakan dan penerapan yang saat ini sangat penting dan strategis dalam mendorong peran ekonomi kreatif dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat adalah penguatan kebijakan dan penerapan HKI ekonomi kreatif di kota kreatif (Creative City).

Menyoalkan Kebijakan HKI 

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang selama ini dalam perspektif hukum dianggap sebagai hak (rights), dalam perspektif ekonomi HKI dapat diartikan sebagai asset, khususnya aset tidak berwujud (intangable assets). Nah, jika dilihat HKI dalam perspektif hukum, maka pengembangan kebijakan dan penerapan HKI yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat — melalui Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM menjadi sangat logis. Akan tetapi, ketika HKI itu dimaknai sebagai asset tidak berwujud, maka pengembangan kebijakan HKI oleh Pemerintah Pusat saja menjadi tidak cukup. Dukungan kebijakan HKI yang dibuat oleh Creative City  menjadi bagian lain yang harus diperkuat.

Adapun dalam prakteknya, kebijakan HKI yang dikembangkan dalam konteks ekonomi kreatif sebagai asset tidak berwujud hingga saat ini masih dilakukan secara sentralistik oleh pemerintah pusat. Kebijakan HKI seakan-akan hanya menjadi urusan pusat, sementara Creative City tidak memiliki urusan pada bidang ini. Akibatnya muncullah berbagai persoalan HKI dalam realitasnya. Beberapa persoalan HKI yang dapat teridentifikasi adalah; Pertama, lemahnya Creative City dalam melakukan edukasi HKI. Sering terjadi overlap dalam penyampaian materi HKI yang dilakukan oleh instansi pemerintah baik pusat maupun Creative City merupakan contoh yang nyata; Kedua, lemahnya kepemilikan dokumentasi aset HKI oleh Creative City; Ketiga, lemahnya tenaga teknis Creative City dalam memfasilitasi pengurusan HKI yang berasal dari pelaku ekonomi kreatif; Keempat, ketiadaan bantuan Creative City secara nyata dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HKI yang dialami oleh pelaku ekonomi kreatif; dan Kelima, masih minimnya aset-aset HKI yang dipromosi dan dikomersialisasikan dengan dibantu peran aktif dari Creative City.

Dari berbagai persoalan di atas, maka akibat lebih lanjut yang ditimbulkan adalah lemahnya peran ekonomi kreatif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Creative City.

Kebijakan HKI bagi Creative City

Setelah melihat akibat kebijakan HKI yang sentralistik oleh Pusat dan menimbulkan persoalan dalam prakteknya, maka sudah saatnya kebijakan HKI dilakukan dengan cara mensinergikan antara kebijakan HKI di Pusat dan Creative City.  Khusus, dalam hal kebijakan HKI di Creative City harusnya diorentasikan dalam kerangka pengelolaan aset HKI dari produk ekonomi kreatif dalam kerangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di creative city—bukan pada pemberian hak.

Peluang untuk melakukan kebijakan pengelolaan aset HKI bagi produk ekonomi kreatif di Creative City sebagaimana yang dimaksud di atas sebenarnya dimungkinkan secara yuridis. Hal ini setidaknya dapat dilihat pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Menurut ketentuan UU No. 32/2004 dinyatakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak mengelola kekayaan daerah. Kemudian dalam UU tersebut juga dinyatakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; dan mengembangkan sumber daya produktif di daerah.

Di samping alasan yuridis memungkinkan atas dibuatnya kebijakan pengelolaan aset HKI di Creative City, secara sosiologis juga kebutuhan atas kebijakan pengelolaan aset HKI tidak dapat dihindari. Hingga kini, realitasnya produk-produk ekonomi kreatif di Creative City dirasa  secara umum belum terakomodir atas kebutuhan perlindungan HKI dan memperoleh manfaat dari HKI itu sendiri.

Ada tiga hal yang harusnya menjadi concern dari kebijakan pengelolaan aset HKI dari produk ekonomi kreatif, yakni; Pertama, kebijakan pengelolaan aset HKI harus mampu mendorong proses penciptaan produk-produk ekonomi kreatif yang inovatif, Kedua, kebijakan pengelolaan aset HKI yang dibuat harus mampu memfasilitsi pendokumentasian, pengurusan pendaftaran dan advokasi atas aset HKI dari produk ekonomi kreatif, sehingga aset HKI dari produk ekonomi kreatif dapat dilindungi, dan Ketiga, kebijakan pengelolaan aset HKI yang dibuat harus mampu mendorong adanya kegiatan promosi  dan komersialisasi atas aset HKI dari produk ekonomi kreatif.

Di samping, kebijakan pengelolaan HKI yang meliputi tiga hal di atas, maka ketiga hal tersebut juga semestinya disinergikan satu dengan lainnya, sehingga membentuk suatu sistem pengelolaan aset HKI dari ekonomi kreatif di Creative Dity.  Pada akhirnya, melalui pembuatan kebijakan pengelolaan aset HKI dari produk ekonomi kreatif di Creative City upaya memanfaatkan aset HKI sebagai strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan.

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia