Lembaga Intermediari HKI dan Ekonomi Kreatif

Ekonomi kreatif saat ini benar-benar sedang menjadi perhatian pemerintah. Hal ini disebabkan beberapa alasan, pertama, ekonomi kreatif diharapkan mampu menyerap tenaga kerja. Pada tahun 2007 Penyerapan tenaga kerja mencapai 5,4 juta pekerja dengan tingkat partsipasi 5,8% kedua, ekonomi kreatif diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Rata-rata Kontribusi PDB Industri  Kreatif Tahun 2002-2006 berdasarkan harga konstan 2000 adalah sebesar Rp 104,6 Triliun Rupiah , yaitu 6,3% dari total nilai PDB Nasional, dan ketiga, kini pemerintah juga telah membentuk satu kementerian khusus yang disebut dengan kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif.

Namun demikian, implikasi positif dari pengembangan ekonomi kreatif ini belumlah optimal. Hal ini disebabkan beberapa permasalahan yang dihadapi. Salah satunya berkait dengan masalah perlindungan hak kekayaan intelektual—disingkat HKI. Pertanyaannya, kenapa dengan masalah perlindungan hak kekayaan intelektual terhadap pengembangan ekonomi kreatif ini dan bagaimana mengatasi permasalahan tersebut, sehingga perlindungan HKI dapat diwujudkan?

Perlindungan HKI dalam Praktik Ekonomi Kreatif

Berbicara perlindungan HKI dalam praktek ekonomi kreatif, maka ada tiga realitas yang dapat ditemukan. Realitas tersebut adalah 1) realitas perlindungan HKI berkaitan dengan pengembangan produk kreatif dan inovatif; 2). Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan sistem pendaftaran HKI, dan 3). Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan penegakan hokum HKI.

Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan pengembangan produk kreatif dan inovatif. Suatu produk yang dapat diberikan perlindungan HKI, maka produk tersebut haruslah kreatif dan inovatif. Suatu produk dikatakan kreatif dan inovatif dalam perspektif HKI hendaknya produk itu dapat memenuhi kriteria dari masing-masing rezim HKI. Untuk hak cipta suatu produk dikatakan kreatif dan inovatif apabila memenuhi Kriteria orisinalitas, fiksasi dan kreativitas, untuk paten, maka suatu produk dikatakan kreatif dan inovatif apabila produk tersebut memenuhi kriteria kebaruan, langkah inventif dan dapat diterapkan dalam kegiatan industri, untuk desain industri, maka kriterianya harus baru dan tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya, dan untuk rahasia dagang kriteria yang harus dipenuhi adalah adanya upaya menjaga informasi yang bernilai ekonomi untuk tidak diketahui oleh umum. Nah, dengan melihat pada kriteria-kriteria ini, maka tegaslah produk yang dimintakan HKI sudah seharusnya produk itu kreatif dan inovatif. Namun sayangnya, saat ini masih ada para pelaku ekonomi kreatif tidak memperhatikan kriteria-kriteria ini. Alhasil, produk yang ada tidak baru bahkan merupakan tiruan/bajakan dari yang sudah ada sebelumnya.

Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan sistem pendaftaran HKI berupa prosedur pendaftaran yang dianggap rumit, berbiaya “mahal” dan waktu yang cenderung tidak pasti, sehingga akhirnya tidak didaftarkan. Hal ini tentunya memperlemah perlindungan hokum dan berimplikasi pada tidak dilindunginya produk-produk ekonomi kreatif tersebut. Realitas perlindungan HKI lainnya berhubungan dengan penegakan hokum HKI. Penegakan hokum HKI hingga kini dirasa masih tebang pilih dan kurang mendapatkan penanganan yang baik dan professional. Minimnya, aparat penegak hokum yang memiliki pemahaman baik atas HKI juga menjadi realitas nyata dalam penegakan hokum HKI. Alhasil, produk-produk ekonomi kreatif yang telah terdaftar HKI-nya tidak serta merta dapat dilindungi, meskipun telah dilakukan proses hokum yang seharusnya.

Lembaga Intermediari HKI

Mencermati realitas perlindungan HKI yang lemah atas produk-produk ekonomi kreatif, maka semestinya dicarikan solusinya. Menurut hemat penulis, solusi yang dapat diambil saat ini dalam rangka meningkatkan efektifitas perlindungan HKI atas produk-produk ekonomi kreatif adalah melalui pembentukan lembaga intermediari HKI antara pelaku ekonomi kreatif dan Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM RI, di mana lembaga ini bersifat independen dan ada di bawah Kepala Daerah serta mampu bekerja secara professional. Lembaga ini juga memiliki fungsi sebagai lembaga asistensi, fasilitasi dan advokasi.

Fungsi lembaga ini sebagai lembaga asistensi ini dikaitkan dengan peranannya dalam memberikan pendampingan terhadap pelaku-pelaku ekonomi kreatif untuk senantiasa melakukan penelusuran informasi atas rencana pembuatan produk. Pendampingan akan dilakukan oleh tenaga-tenaga teknis yang professional di bidangnya. Penelusuran informasi sendiri dilakukan untuk menjawab apakah produk yang akan dibuat itu sudah orisinal atau baru? Atau sebaliknya. Apabila hal ini sudah dapat dilakukan, maka peluang produk-produk ekonomi kreatif untuk dilindungi menjadi besar. Sejalan dengan ini juga, lembaga ini akan memberikan pemahaman pada pelaku ekonomi kreatif untuk tidak membocorkan informasi terkait dengan produk mereka yang baru dibuat, apabila belum dilakukan perlindungan hokum. Dengan fungsi ini, maka perlindungan HKI yang berkaitan dengan produk kreatif dan inovatif dapat dilakukan dari sejak awal sebelum produk tersebut dilakukan pendaftaran.

Kemudian fungsi lembaga ini sebagai lembaga fasilitasi, hal ini berkaitan dengan proses pendaftaran HKI. Sebagai lembaga fasilitasi pendaftaran HKI, maka di dalamnya tentu akan tersedia tenaga teknis untuk pengurusan HKI yang benar-benar professional. Tenaga teknis ini ada dari bidang teknik, seni, teknologi informasi dan hokum/konsultan HKI. Dengan ketersediaan tenaga teknis seperti ini, maka pelayanan dalam pengurusan HKI akan dapat dilakukan secara efektif. Baik pada tahap pemberkasan, seperti; pembuatan patent drafting, design drafting, pembuatan dokumen hokum (surat pernyataan, pengisian formulir) maupun proses pendaftaran di Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM, seperti mengajukan pendaftaran, mengajukan oposisi atau mengajukan banding ke komisi banding merek. Biaya operasional untuk pengurusan HKI pun dapat diatur sedemikian rupa oleh pemerintah daerah, sehingga kemungkinan biaya pengurusan HKI yang tidak wajar dapat dihindari. Dengan penanganan pengurusan HKI yang professional serta biaya operasional yang wajar ini, maka perlindungan HKI melalui pendaftaran HKI dapat dilaksanakan.

Fungsi berikutnya lembaga ini sebagai lembaga advokasi. Untuk mendukung lembaga ini dapat memerankan fungsinya sebagai lembaga advokasi, maka lembaga ini juga akan memiliki tenaga advokat/lawyer yang tidak saja mengerti tata cara praktek hokum secara umum, tetapi mengerti juga tata cara praktek hokum HKI. Dengan adanya lembaga ini yang memiliki fungsi advokasi dan didukung oleh tenaga advokat yang profesional, maka apabila ada produk-produk ekonomi kreatif yang dilanggar HKI-nya, maka dapat dilakukan advokasi dengan baik dan harapannya perlindungan HKI dapat diwujudkan.

Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa perlindungan HKI sebenarnya memiliki makna yang luas. Sebenarnya, perlindungan HKI tidak hanya melalui pendaftaran saja, tetapi hal itu harusnya sudah harus dimulai sejak awal pembuatan produk kreatif dan inovatif hingga produk tersebut dipasarkan. Dengan pembentukan lembaga intermediari HKI diharapkan perlindungan HKI yang luas dapat diwujudkan, sehingga ekonomi kreatif dapat berkembang dengan baik. Wallahu’alam bis Shawab.

 

                                                            Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia